Oleh-oleh dari London

Perjalanan pertama melihat dunia, saya terbawa hingga ke London. Setelah 14 jam perjalanan udara, melewati 2 benua, berikut yang tertinggal dari balik lensa.

Atas undangan sebuah kantor berita, Reuters, saya mampir ke London. Sebenarnya bukan undangan juga, saya mendaftar untuk ikut dalam workshop media mengenai perubahan iklim selama satu minggu di kantor pusat Reuters. Selama satu minggu itu pula saya tinggal di Dockland, London Timur. Sesuai namanya, kota ini adalah kota pelabuhan dengan dermaga-dermaga kecilnya. Namun, dermaga ini sudah sejak lama tidak lagi digunakan sebagai tempat berlabuhnya kapal-kapal. Seperti yang terlihat dermaga ini sekarang menjadi tempat tinggal bagi para “manusia perahu” London. Bersanding dengan apartemen, perkantoran dan pusat bisnis Canary Wharf.

Tidak jauh dari dermaga di atas, atau sekitar 500 meter dari sana terdapat pasar ikan, Billingsgate Market. Pasar ikan terbesar di Inggris yang sudah ada sejak abad ke 16. Kalau mengklik wikipedia, meski hanya sebuah pasar ikan, tapi sejarah pasar ikan ini cukup signifikan bagi geliat London Timur. Pasar yang ramai sejak subuh hingga menjelang tengah hari ini menjual beraneka jenis fauna laut mulai dari udang, ikan hingga baby shark. Dipajang dalam box-box yang tertata apik, saya dan kawan dari Vietnam – Binh – rela bangun subuh-subuh hanya untuk melihat geliatnya. Meski untuk itu kami juga harus rela keluar pasar dengan tubuh bau ikan tanpa satu ekor ikan pun di genggaman.




Beberapa hari sebelum menuntaskan jabatannya sebagai Perdana Menteri Inggris, Tony Blair bertandang ke Reuters, di waktu yang sama saat saya berada di sana. Selama satu jam PM Inggris selama 10 tahun ini “mengeluarkan” keluh kesah mengenai hubungannya dengan media saat ia menjadi PM.

Menurut PM dari Partai Buruh ini, media di Inggris seperti “feral beast” dalam kerangka hubungan antara media dengan politikus. Ia menilai media telah bersikap tidak adil, terutama terhadap politikus, karna tidak jarang memberikan justifikasi terhadap figur lebih buas dibandingkan sebelumnya.

Sejak keputusannya mendukung invasi AS ke Irak, kecaman terhadap keputusannya ini semakin menguat di kala tidak ada titik terang akan penyelesaian konflik Irak. Tidak hanya di kalangan lawan politiknya, tapi juga di masyarakat dan media yang disebutnya sebagai “viewspaper.”


Hmm.. wanna know my first comment bout this house? It’s seems like an alien house. hehehe… well clear up guys, it’s BedZed or Beddington Zero Energy Development house. Menurut sang arsitek Bill Dunster, rumah ini adalah rumah ramah energi yang tidak menggunakan energi fosil at all… Berlokasi di London Borough Sutton di dekat Wallington kompleks perumahan yang dihuni oleh sekitar 100 keluarga ini mencoba hidup nyaman dengan sedikit menggunakan energi fossil. Seperti menggunakan sisa potongan kayu sebagai sumber energi, tenaga angin untuk pendingin dan penghangat udara (mengatur sirkulasi udara), daur ulang air toilet, penghijauan di atap rumah, memperbanyak jendela dll. Namun, rumah tanpa energi bukan berarti tanpa masalah. Para penghuninya kerap merasa privacy mereka terganggu karna terlalu banyak noise yang masuk ke dalam rumah atau ketika mendapat kunjungan dari orang-orang yang penasaran dengan rumah mereka (seperti kami… hehehe). Selain itu harga satu rumah BedZed adalah dua kali rumah biasa.


Jika bertandang ke negara di Eropa, jangan lupa kunjungi museumnya. Kenyataan yang menyesakkan untuk diakui, tapi memang museum-museum di sana menyimpan banyak harta berharga seluruh bangsa di Indonesia. Setengah memaksakan waktu saya mengunjungi salah satu museum terbesar dan tertua di dunia. Koleksi benda-benda bersejarah di museum ini mencapai lebih dari 13 juta sejak berdiri pada 1753, seperti yang saya abadikan ini sebuah patung Firaun Mesir di antara artefak yang lainnya.

Terletak di Great Russell Street London, museum yang didirikan oleh scientist Sir Hans Sloane ini terbagi atas beberapa anjungan yang disebut sebagai Departement, yakni Departement of Ancient Egypt and Sudan; Department of Greek and Roman Antiquities; Department of Middle East; Department of Prints and Drawings; Department of Asia, Department of Africa, Oceania and Americas; Departement of Coins and Medals; Department of Prehistory and Europe; and Department of Conservation, Documentation and Science. Niat saya adalah melihat Department of Asia, tapi karena saya baru tiba saat jam di dinding telah mengarah ke angka 6 sore, maka pupuslah harapan saya. Anjungan Asia tidak buka hingga larut, meski beberapa anjungan sering kali terbuka hingga pukul 11 malam. Hmmm, saya sedang “bermimpi” kapan saya bisa menjejakkan kaki ke sana lagi dan mengulik Department of Asia.


Last but not least, gak lengkap tanpa bercerita tentang Sungai Thames. The heart of London, England and Europe. Seperti halnya keyakinana bahwa peradaban muncul di daerah aliran sungai. Tidak sempat melihatnya lebih dekat, saya hanya mampu memotretnya dari balik gedung kaca CIty Hall yang terletak tepat di depan jembatan kembar Sungai Thames.

Tidak hanya berhadapan dengan City Hall, di tepi sungai sepanjang 346 km ini juga berdiri House of Parliament, London Eye, The Tower dan lainnya. Seperti halnya Sungai Bengawan Solo di Jawa Tengah dan Kali Angke di Jakarta, Sungai Thames juga memiliki sejarah dalam masa-masa feodalisme Inggris.

redrena

~ by dimensirena on May 13, 2008.

One Response to “Oleh-oleh dari London”

  1. I VERY WANT TO GO TO LONDON AND I WANT VISIT THE THAMES STREAMS,I AM FROM INDONESIA(ACEH)AND I HOPE CAN GO TO LONDON AS SOON AS POSSIBLE………………!!!!!!!!!!………….

Leave a reply to mulyati Cancel reply