Satu Hari di Rawa Terate

“Sudah sampai mana Mba?”

“Baru di halte pasar bu. Memang lokasi Ibu dimana?”

“Mba ke Pasar Pulogadung saja. Nanti berhenti di dekat Fuji Film di seberang Bank BCA. Apa perlu dijemput kesana?”

“Oh tidak usah Bu. Baik sebentar lagi saya kesana.”

Tepat jam 9 pagi saya, Widodo dan Kasirun, driver kami tiba di depan Fuji Film Pasar Pulogadung. Agenda kami hari itu bertemu dengan dua ibu kepala rumah tangga dari Rawa Terate. Selama satu hari kami akan berkeliling bersama Ibu Eni dan Ibu Rohmani menjadi Yakult Girl.

Cuaca hari ini tidak terlalu panas sebetulnya. Awan menyelimuti langit hampir sepanjang hari. Namun karna Kelurahan Rawa Terate terletak tepat di pusat industri, transportasi dan pemukiman, udara siang itu terasa panas menyengat. Hari ini, Selasa 10 Juni, saya memenuhi janji saya untuk meliput kegiatan harian seorang Yakult Girl, berkeliling menjajakan beratus-ratus botol minuman kemasan itu di sekitar Pulogadung.

“Maaf ya bu kami telat. Tadi salah jalan.”

“Oh ya gak apa-apa. Pantesan kok lama. Sekarang ke rumah Bu Rohmani dulu ya. Ambil barang baru keliling,” Ibu Eni menyambut kami yang datang dengan perasaan tidak enak karna terlambat.

Sambil berjalan santai, kami pun bergerak menuju ke rumah Ibu Rohmani di Rt 10 Gang Kelurahan Rawa Terate Jakarta Timur. Saya mengenal Ibu Eni dan Ibu Rohmani di kantor Koalisi Perempuan Indonesia. Saat ini saya tengah mengerjakan materi talk show mengenai dampak kenaikan BBM bagi masyarakat. Ada beberapa sektor yang kami angkat antara lain dampak kenaikan BBM terhadap sektor informal, industri, rumah tangga dan pengguna sarana transportasi. Ibu Eni dan Ibu Rohmani ini menjadi profil dampak kenaikan BBM di rumah tangga. Point of viewnya adalah bagaimana perempuan (dalam hal ini ibu) berusaha menyelamatkan periuk nasinya dan bertahan dalam kondisi ini.

Ibu Eni dan Ibu Rohmani adalah pengecer minuman kemasan Yakult, mereka menyebutnya Yakult Girl. Mereka garda terdepan dalam bisnis perdagangan minuman dari Jepang yang masuk Indonesia sejak tahun 1991 ini. Setiap hari Ibu Eni dan Ibu Rohmani berjualan Yakult dalam setiap kesempatan. Setelah selesai mengerjakan aktivitas rumah tangga, mulai pukul 08.30 mereka berkeliling ke area yang telah ditentukan. Biasanya tidak terlalu jauh dari tempat tinggal mereka. Seperti kedua ibu yang sekarang menjadi tulang punggung keluarga ini menjajakan barang dagangannya di sekitar Rawa Terate dan pemukiman padat penduduk di Kelapa Gading.

“Di Yakult ini sistemnya insentif Mba. Uang kami dapatkan dari setiap botol yang bisa kami jual. Satu botolnya 165 perak. Biasanya sih sebulan dapat lah 500 ribu rupiah. Kalau lagi laris bisa sampai 1000 botol. Buat saya yang udah gak punya suami sih, uang segitu lumayan lah buat nyekolahin anak,” kata Ibu Rohmani saat kami mengantarnya ke cabang Yakult di Rawamangun.

“Kalau saya meski masih ada suami, tapi suami saya udah nganggur Mba. Kena PHK gede-gedean tahun 2001 kemaren. Tadinya kerja di Mitshubishi Electric, tapi bangkrut. Padahal sekarang saya masih punya dua anak yang masih sekolah. Satu di SMP dan satu baru mau masuk SMP. Kalau gak ngider kayak gini dari mana kita bisa makan dan nyekolahin anak,” tutur Ibu Eni sambil mengarahkan arah jalan.

Berempat kami keluar masuk kampung menjajakan minuman kemasan ini. Tidak hanya mengandalkan pendapatan dari hasil penjualan Yakult, kedua ibu ini mencoba berbagai jenis usaha. Ibu Eni misalnya selain menjajakan Yakult dan Vitacharm, ia juga rajin mencari sampingan dengan memberikan jasa kredit peralatan rumah tangga, membantu menjualkan penganan kecil saat ada arisan RT atau acara-acara kelurahan. Sementara Ibu Rohmani sebelum ia sakit setiap sore ia membuka warung nasi uduk di depan rumahnya. Maklum saja sebagai kepala rumah tangga setidaknya berbagai pos pengeluaran sudah harus dipikirkan jalan keluarnya. Ibu Eni misalnya setiap bulan sudah harus menyisihkan 400 ribu rupiah untuk sewa kontrakan. Ini belum termasuk biaya sekolah kedua anaknya. Sementara Ibu Rohmani meski tidak harus menyewa rumah bahkan memiliki beberapa kamar untuk dikontrakkan tanggungannya lumayan banyak. Selain dua orang anak yang masih sekolah ada 3 mulut lagi yang harus disuapi di rumahnya.

Kisah Ibu Eni dan Ibu Rohmani pastilah bukan kisah baru dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Masih banyak kisah yang lebih pilu, sedih atau bahkan tragis. Kita pastilah masih ingat kisah tentang Daeng Base yang harus mati kelaparan, atau ibu ibu lain yang karna desakan ekonomi memilih cara untuk mengakhiri hidupnya dan bahkan memilih mati bunuh diri bersama dengan anak-anaknya. Tapi masih banyak pula mereka yang terus bertahan. Dengan segala macam cara mencari rejeki terutama demi anak-anak yang mau tidak mau harus mereka tanggung. Peran sosial bersanding dengan peran domestik yang dikonstruksikan oleh masyarakat membuat beban ganda berada di punggung ibu-ibu.

Di tengah kebijakan pemerintah yang sekali lagi menaikkan harga BBM atas nama menyelamatkan APBN, kedua ibu ini dan ibu-ibu yang lainnya masih harus berpacu mempertahankan keluarganya. Entah yang masih memiliki partner “sang suami” atau yang sudah memang harus bertarung sendirian. Semuanya harus berjuang. Dan perjuangan inilah yang ingin saya angkat. Membuktikan bahwa sekeras apapun hidup yang harus dijalani, perempuan pasti memiliki caranya sendiri untuk bertahan.

Meski untuk itu sangat jarang penghargaan yang mereka terima dari masyarakat, dari keluarga bahkan dari dirinya sendiri. Satu hari di Rawa Terate membuat saya kembali bersemangat untuk tidak menyerah menjalani hidup ini.

Bersama berbagi pelanggan

redrena

~ by dimensirena on June 10, 2008.

4 Responses to “Satu Hari di Rawa Terate”

  1. aku suka orang yang optimis seperti ibu itu

  2. Betul, optimisme seperti inilah yang harus disebarkan ke penduduk Indonesia. Meski untuk mengubah negara ini tidak hanya rasa optimis saja.

  3. yang bener yakult lady, bukan yakult girl. Ha……..

  4. trims pak untuk koreksinya.. ya yakult lady bukan yakult girl

Leave a comment