Hanya aku dan diriku (bagian pertama)

Hal apa yang menarik dari sebuah perjalanan? Apakah tempatnya, orang-orangnya, perjalanannya, ceritanya, atau makanannya?  Tulisan ini berisi hal-hal menarik tentang perjalanan saya. Tapi hanya ada satu hal yang saya temukan di perjalanan ini…

Sejak pertama kali menginjakkan kaki lagi di benua ini ada dua tempat yang selalu menghantui malam-malam saya (hehehe).. Paris dan Berlin. Paris karena saya amat bersemangat melihat jejak-jejak feodalisme raja-raja abad pertengahan, kastil-kastil tuanya, museumnya, seni dan musik jalanannya. Sementara Berlin, kota yang kental nuansa perjuangan kelasnya, perebutan kekuasaannya, simbol Perang Dingin, kota yang dipenuhi nuansa perlawanan…

Waktu yang ditunggupun datang juga. Setelah menyelesaikan kelas hari itu, berhaha hihi dengan teman – teman seperjuangan, Kamis, 22 Oktober saya memulai perjalanan menuju kedua kota itu seorang diri. Uhm rencananya sih gak sendirian, tapi lantaran masalah koordinasi dan kepentingan berbagai pihak yang tidak terakomodir jadilah saya ambil pilihan praktis.. Jalan Sendiri.

Peralatan perangTravel bag ukuran sedang, paspor, dompet berisi uang 150 euro, tiket bus Utrecht – Paris, paspor, kamera, HP (hellow), satu helai baju plus handuk, berkaleng – kaleng susu, coke dan coklat, payung, buku berisi daftar tempat yang harus saya kunjungi menjadi bekal perjalanan saya. Gak ketinggalan sarung tangan dan jaket untuk menghindari bahaya mati kedinginan di negeri orang. Pengalaman menggigil sampai batuk parah di Poznan tahun lalu cukup menjadi tamparan keras di pipi saya.. hehe

Setelah nunggu bus yang mengangkut saya dari tempat training ke Hiversum, saya pun naik kereta seharga  3,70 euro menuju Utrecht. Tepat jam 7.31 kereta datang dan lima belas menit kemudian saya sudah duduk nyaman di ruang tunggu di Utrecht Central Station. Bus yang akan mengantar saya ke Paris berangkat dari sini jam 22.45 .. Weeks.. 2 jam 45 menit saya harus nunggu.

Sepuluh menit, lima belas menit, dua puluh menit, tiga puluh menit… saya hanya bisa bertahan duduk manis selama tiga puluh menit. Waktunya menjelajah. Tempat pertama adalah WC alias toilet. Untuk masuk ke toilet otomatis ini saya harus memasukkan koin 50 sen di pintu depan toilet. Begitu tombol berubah menjadi warna hijau, toilet yang seperti kotak seng itu akan terbuka dan gw bisa melakukan beberapa aktivitas di sana. Di dalam toilet yang cukup besar karena memang diperuntukkan juga untuk mereka yang disable, ada satu jamban, keran air (yang keduanya terbuat dari besi), cermin, tissu dan sabun. Waktu pakai bebas, asal tidak pada jam padat.

Selesai urusan pertoiletan, say  beralih ke tempat yang lain. Tujuan berikutnya adalah tempat makan. Perut udah agak berontak, saya pun menemukan Smullers. Di tempat ini saya beli sekotak french fries ukuran besar dengan saus mayonaise.. Sambil duduk nyaman memperhatikan orang-orang lalu lalang ngejar-ngejar kereta, saya nikmati kentang goreng itu. Sesekali saya ngobrol dengan seorang ibu di samping saya dengan bahasa campur sari antara Belanda, Inggris, Tarzan dan bahasa universal… Senyum..

Bosan duduk, plus temen ngobrol saya juga udah kabur entah kemana, saya putuskan turun ke bawah. Berikut jam di dinding udah mengarah ke angka 22.30, time to go. Berjalan pelan, say menuju halte bus Eurolines yang akan mengantar saya ke tempat tujuan. Gak perlu lama-lama nunggu, bus pun dateng. Supir bus ngecek barang saya yang cuma seuprit itu, plus tiket dan saya pun melangkah masuk ke dalam bis. Boot dilepas, cari posisi enak, minum susu dulu dan bersiap tidur.  Secara gelap juga di luar dan hitung-hitung hemat energi untuk perjalanan panjang esok hari.. Zzzzz

Delapan jam kemudian (06.30 pagi), tibalah saya di Gallieni Station. Sedikit ngecek sana sini, saya pun menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Paris..  Untuk mereka yang masuk Paris lewat jalur darat, Gallieni Station merupakan tempat masuk utama. Stasiun ini gabungan antara stasiun bis antar negara dan stasiun kereta bawah tanah (metro).

Khawatir kehabisan tiket ke Berlin, saya pun memutuskan untuk menunggu sampai loket Eurolines dibuka jam 08.00. Sambil nunggu saya melakukan aktivitas pribadi yakni… berkunjung ke rest room area..  Berbeda dengan di Utrecht, toilet umum di Paris mencharge kita sebesar 20 sen. Di sinilah untuk pertama kalinya say memandang betapa pentingnya uang koin. Dengan uang koin 20 sen, 50 sen kita bisa ke WC. Bahkan kalo mau cepet, beli tiket kereta pun sebaiknya pake uang koin karena ada mesin otomatisnya. Sementara di kita, uang koin udah paling hobi dibuang-buang ato diganti permen kalau belanja di supermarket.

Selesai di toilet, setelah gosok gigi, cuci muka, bedakan, ganti baju, sedikit cantik dan harum saya pun melangkah menuju counter tiket. Saya menjadi pembeli pertama di loket itu. Sebuah dinding kaca memisahkan saya dengan seorang pria penjual tiket.

Gw : I want to go to Berlin to nite. Do you still have a one way ticket?

Pria: Sorry, it’s finish. Full booked

Gw : How bout to Brussel?

Pria: Same, all destination are full until Saturday nite.

Gw : Oke, then i buy one to Paris for Saturday

Pria: One to Paris, 19.30, 85 euro. You passport please?

Gw : Oke

Dan begitulah.. tanpa rencana (yang emang gak punya rencana) saya pun harus memperpanjang masa tinggal sayadi Paris satu hari. Setelah dikurangi 85 euro praktis uang yang tersisa di dompet saya adalah 65 euro.. Hehehe what we gonna do with this money? And how bout my ticket from Berlin to Utrecht? Could i buy it? Hehehe… lihat saja nanti. Sekarang, nikmati Paris..

Melangkah ringan saya menuju ke stasiun kereta. Hari masih pagi, masih belum banyak orang, plus saya masih disorientasi karena saya berada di bawah tanah, saya pun melihat-lihat peta Paris. Entah pengaruh laper atau masih belon sadar dari kantuk, saya gak berhasil menangkap maksud dari peta itu. Saya pun memilih bertanya ke bagian informasi khusus metro yang alhamdulillah udah buka.

Gw : Could you tell me how can i go to Louvre Museum ?

Girl : Uhm… you go this, take this line, this and get off here…

Gw : Oke, can i take this map

Girl : sure…

Hehehe bingung kan? Itu tadi adalah arahan dari petugas informasi yang ngasih saya info rute dan nomor metro yang akan mengantar saya menuju Louvre Museum.  Yup, tujuan pertama adalah museum tertua di Paris, Louvre Museum di pusat kota Paris. Berhubung petugas informasi tadi tidak terlalu fasih berbahasa Inggris, seperti saya yang gak bisa sama sekali berbahasa Perancis, akhirnya prinsip here here dan gambar menjadi kunci utama. Plus, saya juga dikasih peta metro gratis sama si mbak ini. Damn, tau gitu ngapain tadi beli peta Paris seharga 2 euro ya…

Hari ini bekal perjalanan saya bertambah, sebuah peta metro dan peta Paris yang dipenuhi dengan warna-warna. Pelajaran pertama, cintailah warna karena berkat warna kita gak bakalan tersesat di negeri orang.. Jalur metro dibedakan berdasarkan warna dan nomor. Kayak jalur metro dari Gallieni menuju stasiun Pont de Levallois Becon yang berwarna kecoklatan dan bernomor 3. Dari Gallieni saya naik metro ini turun di stasiun Hotel de Ville lalu naik metro nomor 1 ke arah La Defense dan turun di stasiun Palais Royal Musee du Louvre. Metro nomor satu ini berwarna kuning.. Alhamdulillah menemani Syahrani mewarnai membuat gw hafal warna…

Jam 9 pagi saya sampai di Musee du Louvre. Saya masuk museum masih amat sangat sepi. Baru segelintir orang yang dateng. Suasana masih gelap.. Saya gak ngerti apa ini karena memang masih gelap atau karena saya masih berada di bawah tanah. Jalur masuk museum memang ada dua. Satu dari atas, satu lagi dari bawah bagi mereka yang menggunakan metro. Well.. lagi-lagi gw orientsi waktu.

Musee de LouvreGak pake lama, gak pake rehat, bahkan gak pake sarapan, saya langsung beli tiket masuk seharga 9 euro.. Waw.. cukup murah untuk museum sebesar itu mengingat sebelumnya saya ke Van Gogh museum dan tiket masuknya seharga 12,50 euro. Plus tiket masuk Louvre berlaku selama satu hari, keluar masuk asal masih berada di hari yang sama. Horee..  Setelah menitipkan seluruh barang bawaan,  saya ke counter sewa audio library seharga 6 euro dan langsung masuk ke bagian pertama.. Anjungan Sully tempat beberapa masterpiece koleksi Louvre disimpan.. Baru dari sinilah, di lantai dua Louvre sebelum masuk ke anjungan saya melihat ke sekeliling dan emang… gede banget… !!! Total luas museum 60.600 meter persegi..

Museum yang dibuka sejak 1793 (cuyyy … ) ini setiap tahunnya dikunjungi lebih dari 6 juta orang.   Beragam koleksi mulai dari koleksi oriental; Mesir; Romawi, Yunani dan Etruscan; sejarah awal Louvre sendiri; lukisan; patung; koleksi zaman pertengahan dan renaissance; print and drawing department; Amerika, Asia, Oceania dan Afrika; hingga yang terakhir dan sedang dalam masa pembangunan adalah koleksi Art of Islam… hampir lengkap… Setau saya yang bisa ngalahin cuma The British Museum di London…

Tiga jam waktu yang saya habiskan di dalam museum.. Mulai dari patung La Victoria de Samothrace, Venus de Milo, Monalisa Smile-nya om Leonard da Vinci, koleksi terbaru mereka berupa pakaian para Ottoman Turki, sampai pondasi Louvre waktu awal dibangun. Kaki udah pegel, mata udah mulai berkunang-kunang plus berusaha melarikan diri dari seorang pria Perancis rada-rada aneh yang mengikuti saya terus, berakhirlah penjelajahan saya di Louvre. Meski hanya tiga jam, saya sudah mengunjungi seluruh anjungan di Louvre.. Dan saya pun bersiap bertandang ke lokasi selanjutnya. Tapi sebelumnya cari makan siang dulu kali ya….

sambil saya makan siang, bersambung dulu ceritanya

redrena

~ by dimensirena on November 9, 2009.

One Response to “Hanya aku dan diriku (bagian pertama)”

  1. very nice!!! i’m looking forward to reading the next chapter ^^

Leave a comment