Pagi ini bukan pagi yang cerah, meski kemarin aku sudah memperpanjang liburku. Ingatan akan lima episode talk show yang harus disyuting hari ini ditambah perasaan tidak nyaman atas kondisi kantor sejak Jumat lalu membuatku malas memulai hari. Beratlah pokoknya. Belum lagi kondisi meja kerjaku yang berantakan (well this one is absolutely my fault… hehehe).
Namun, mataku kembali ceria sesampainya aku di depan mejaku. Sebuah majalah edisi terbaru sudah tergolek manis di sana. Bukan NG langgananku melainkan Majalah Campus Asia yang diberikan oleh atasanku, Pak Hong Tjhin. Secepat kilat aku balik-balik majalah setebal 202 halaman itu. Baru kali ini aku membaca majalah ini. Isinya adalah tentang kehidupan dunia pendidikan di berbagai wilayah Asia. Kali ini ia mengangkat mengenai Great Ideas in Education.
Secepat gerak tanganku membolak balik halaman majalah itu, secepat itu pula aku teringat akan cita-citaku. Aku berkeyakinan dan berusaha sebelum usiaku menginjak 30 tahun, aku harus menyelesaikan pendidikan pasca sarjanaku. Tahun ini, bahkan aku memfokuskan diri untuk meraihnya, minimal merintis jalan meraihnya. Uhmm.. resolusi awal tahunku kemarin ada dua yakni pindah kerja dan lolos beasiswa. Option yang pertama sudah aku eliminasi Juni lalu, ketika aku menolak pindah ke Metro TV. Jadi, fokusku memang hanya tinggal yang kedua.
Tidak mudah untuk memfokuskan diri pada hal tersebut, di saat sejuta rencana, tawaran dan pekerjaan menggoda imanku, seperti saat ini. Meski belum sempat kubaca, majalah titipan tersebut telah menjadi percik semangat bagi cita-citaku.
Namun, tidak hanya itu. Pekerjaan pun telah menjadi sumber inspirasi dan percik semangat yang lain. Seperti halnya tema talk show yang kuangkat tadi, yang akan tayang Oktober nanti. Pendidikan alternatif dalam rupanya yang beragam adalah tema utama dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda. Argumentasiku dan bahasa yang kugunakan dalam opening talk show yang menghubungkan antara pendidikan dan Sumpah Pemuda kurang lebih seperti ini.
“Delapan puluh tahun yang lalu tepatnya 28 Oktober 1928, pemuda Indonesia melahirkan satu janji kebangsaan untuk menjaga keutuhan bangsa ini, yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda. Hal ini membuktikan bahwa inisiatif kaum muda telah menorehkan sejarah dalam kehidupan negara Indonesia. Namun, bagaimana kondisi pemuda Indonesia saat ini? Seperti halnya delapan puluh tahun yang lalu, masalah pendidikan masih tetap membelenggu kehidupan pemuda kita. Meniti Harapan akan membahas mengenai pendidikan alternatif sebagai salah satu langkah membawa pengetahuan bagi pemuda Indonesia.”
Untuk itu, aku mengangkat lima subtema yang berhubungan dengan pendidikan alternatif, yakni Sekolah Komunitas Qaryah Tayyibah, Sekolah Kesetaraan Merah Putih, Pusat Belajar Masyarakat Rumah Dunia, Kursus Penyiaran Mantan Pecandu Narkoba After Care, Rumah Belajar Komunitas Proklamasi dan Rumah Baca Paramita.
Sekolah Komunitas Qaryah Tayyibah berada di desa Kalibening, Salatiga. Didirikan oleh mantan petani dan pada awalnya diperuntukkan untuk mengatasi masalah pendidikan yang dihadapi oleh petani-petani di desa tersebut. Bisa disebut sekolah ini menerapkan homeschooling bersama. Anak-anak usia 13 – 17 tahun atau yang setara kelas 1 SMP hingga 3 SMA dilatih untuk mandiri mencari ilmu pengetahuan yang ingin mereka kuasai. Sebagian besar dari mereka akhirnya terlatih untuk kreatif dan berkarya di bidangnya masing-masing. Seni, baik sastra, musik maupun rupa adalah wilayah yang diminati oleh sebagian besar anak-anak di sini. Namun tidak tertutup kesempatan bagi mereka yang menyukai ilmu eksakta ataupun pengetahuan umum.
Tidak banyak atribut yang kerap digunakan di sekolah formal, seperti seragam, buku paket, kelas, atau gedung sekolah. Ruang belajar dan laboratorium mereka adalah rumah penduduk dan wilayah Desa Kalibening. Demikian juga dengan metode pengajaran. Tidak ada sistem penjenjangan, guru lebih berperan sebagai tutor dan tidak ada forum evaluasi yang mengacu pada sistem nilai tertentu. Saat evaluasi mereka adalah forum ketika anak-anak ini melakukan semacam refleksi atas apa yang mereka sudah dan belum dapatkan di sekolah mereka.
Sebulan sekali mereka mengadakan gelar karya untuk memperlihatkan karya-karya yang telah mereka hasilkan dari kegiatan belajar mereka. Anak-anak ini juga rajin menulis dan mempublikasikan karya tulis mereka. Tidak hanya fiksi namun juga non fiksi seperti buku Lebih Baik Tidak Ada UAN, Gus Dur di Mata Remaja dan lainnya. Meski banyak kesenangan dan kebebasan dalam mengolah pengetahuan, anak-anak kerap merasa kurang adanya keseimbangan dalam mendapatkan ilmu pengetahun. Menurut mereka ilmu eksakta dan pengetahuan umum masih kurang diperoleh.
Sekolah Merah Putih berada di Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Merupakan sekolah khusus untuk anak-anak pemulung yang berasal dari sekitar 33 lapak pemulung di sekitar Lebak Bulus dan Pondok Labu. Konsep sekolah ini adalah pendidikan luar sekolah yang didirikan oleh seorang notaris pasar modal yang ingin menjadi relawan Tzu Chi, R.Ayu Tri Wahyuniati Subali. Dibangun pada tahun 2006 saat ini jumlah siswanya telah mencapai 350 orang mulai dari tingkat taman kanak-kanak hingga SMU. Meski konsepnya pendidikan luar sekolah, namun Sekolah Merah Putih berusaha menerapkan pendidikan yang setara dengan sekolah formal namun dilengkapi dengan life skill untuk membantu anak-anak pemulung ini keluar dari lembah kemiskinan.
Sekolah ini membebaskan murid-muridnya dari biaya pendidikan. Pemberian life skill di tempat ini antara lain dengan membuka kebun bersama di mana hasil kebun dapat dinikmati oleh murid-murid, pembuatan kompos yang bisa dijual, hingga daur ulang plastik. Berbagai latar belakang anak-anak ada di tempat ini, tidak hanya berasal dari keluarga pemulung, tapi juga anak-anak dengan latar belakang korban kekerasan dalam rumah tangga, korban pelecehan seksual, traffiking, dsb. Selain itu, banyak dari mereka yang juga putus sekolah.
Untuk menjauhkan dan membuka jalan hidup baru bagi para mantan pecandu narkoba, beberapa dokter dari Rumah Sakit Bhayangkara membuat satu metode pembelajaran bagi para mantan pencandu narkoba. Mereka membuka kelas broadcast sebagai tempat belajar dan kembali berkarya. Kursus selama tiga bulan ini memberikan kesempatan bagi para mantan junkie untuk bisa membuat film pendek, atau film iklan sehingga mereka memiliki aktivitas lain yang lebih positif.
Rumah Belajar Komunitas Proklamasi didirikan oleh Yayasan Nurani Dunia, pimpinan sosiolog Imam Prasodjo. Bertempat di Kampung Bonang, Kelurahan Pesanggrahan, Menteng, Rumah Belajar Komunitas Proklamasi didirikan dalam upaya memberdayakan masyarakat Kampung Bonang yang sangat rentan konflik dan masalah sosial seperti narkoba, tawuran, pengangguran hingga angka penderita HIV/AIDS yang cukup tinggi. Melalui jalur pendidikan mereka bersama dengan masyarakat sekitar berupaya mendamaikan kampung, mencegah peningkatan pengguna narkoba dan penderita HIV/AIDS, memberdayakan masyarakat dalam bidang ekonomi.
Selain rumah belajar untuk anak-anak usia sekolah, di beberapa area di tempat ini juga terdapat sudut-sudut tempat membaca masyarakat seperti di gardu ilmu (dulunya bekas gardu hansip), DPR (Daerah Pinggiran Rel) yang berfungsi sebagai perpustakaan sekaligus sanggar seni, dan pos ilmu (tempat mangkal tukang ojek yang juga dilengkapi buku bacaan). Tidak hanya relawan Nurani Dunia, seorang mantan pencandu narkoba pun ikut serta menggawangi dan menginisiasi program yang berencana membangun 100 pos ilmu di seluruh kampung dan menjadikan Kampung Bonang sebagai Kampung Ilmu.
Jika Komunitas Proklamasi fokus pada pemberdayaan masyarakat yang mandiri, maka Yayasan Sutra Bakti melalui Rumah Baca Paramita membangun dua buah taman bacaan masyarakat di Tangerang dan Bekasi. Rumah Baca ini diperuntukkan bagi anak-anak miskin yang tinggal di wilayah Tangerang dan Bekasi (tepatnya di Babelan) untuk menambah pengetahuan masyarakat setempat.
Tidak hanya memancing masyarakat melalui bacaan, upaya membantu memecahkan problem sosial dilakukan dengan memberikan bibit tanaman kepada masyarakat. Diharapkan melalui pembagian bibit tanaman produktif (pohon belimbing) tidak hanya berfungsi melestarikan lingkungan alam, tapi juga berupaya meningkatkan perekonomian masyarakat melalui hasil jual buah-buahan tersebut.
Rumah Dunia sebuah learning center di kota Serang Banten didirikan oleh penulis novel Gola Gong atau Heri Henrayana Harris. Di tempat ini Gola Gong bersama dengan istrinya yang juga penulis Tyas Tantaka berupaya membuat tempat belajar masyarakat dan perpustakaan umum. Dengan semangat berbagi mereka bersama dengan relawan yang sebagian besar adalah mahasiswa universitas setempat membuka kesempatan yang luas bagi masyarakat sekitar dan juga di luar kota Serang untuk belajar menulis karya sastra, jurnalistik, membuat film, berlatih teater, seni rupa atau hanya membaca sekitar 5000 koleksi buku sumbangan dari berbagai pihak.
Mantan tim kreatif RCTI yang kini tengah menjalani perawatan akibat pengapuran tulang yang dideritanya ini juga kerap mengadakan berbagai kegiatan diskusi sastra ataupun permasalahan sosial. Ode Kampung, demikian forum yang secara rutin diadakannya setahun sekali pada November ini akan mengangkat mengenai keberadaan TBM atau Taman Bacaan Masyarakat.
Di akhir hari saat saya menuliskan posting ini, saya jadi berefleksi. Sudah selayaknya pendidikan lanjutan yang akan saya tempuh suatu saat nanti bukan dilakukan untuk meraih gelar kesarjanaan semata. Tapi apapun yang saya dapat dari pendidikan tersebut sudah seharusnya saya gunakan untuk membayar hutang saya bagi anak-anak lain agar menjadi berarti.
sekolah merah putih rumah belajar komunitas proklamasi
redrena
Posted in Colours of my life